
Mengapa Indonesia Tidak Memperbolehkan Pembukaan Casino. Pada 4 Oktober 2025, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pemblokiran tambahan 500.000 konten judi online, melanjutkan kampanye agresif melawan perjudian yang telah menyumbang kerugian sosial mencapai triliunan rupiah. Di tengah desas-desus legalisasi casino untuk dorong pariwisata di Ibu Kota Nusantara (IKN), Gubernur Bali tegas menolak rencana pengembangan resort casino raksasa, menegaskan komitmen nasional terhadap larangan ketat. Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar dunia, sejak lama menutup pintu bagi casino fisik atau virtual. Kebijakan ini bukan sekadar warisan kolonial, tapi respons sadar terhadap nilai budaya dan risiko nyata. Mengapa negeri ini tetap teguh menolak? Artikel ini kupas alasan utamanya, dari akar agama hingga implikasi modern, di saat dunia lain justru membuka gerbangnya lebar-lebar. BERITA BOLA
Akar Agama dan Budaya: Larangan yang Mendalam: Mengapa Indonesia Tidak Memperbolehkan Pembukaan Casino
Indonesia bukan negara sekuler mutlak; nilai Islam yang dianut 87% penduduknya membentuk fondasi larangan casino. Dalam ajaran Islam, judi (maisir) dianggap haram karena memicu ketidakadilan, kerakusan, dan kerusakan moral—seperti disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 90-91, yang menyamakan judi dengan setan yang memabukkan. Casino, dengan glamornya yang menggiurkan, dilihat sebagai pintu masuk dosa yang bisa merusak harmoni gotong royong, nilai inti bangsa ini.
Secara budaya, tradisi lokal seperti upacara adat di Bali atau Jawa menekankan keseimbangan hidup, bukan spekulasi untung-rugi instan. Penolakan Gubernur Bali Agustus lalu terhadap proposal casino senilai miliaran dolar justru menyoroti ini: “Kami lindungi warisan leluhur dari godaan modern yang bisa korupsi jiwa masyarakat.” Di daerah pedesaan, di mana kemiskinan masih tinggi, casino berpotensi jadi jebakan bagi keluarga sederhana, mengubah tabungan untuk pendidikan jadi taruhan sia-sia. Pemerintah sadar, membuka casino berarti tantang identitas nasional—bukan hanya soal uang, tapi soal jiwa bangsa yang tetap berpegang pada etika luhur. Hasilnya, survei nasional menunjukkan 75% rakyat mendukung larangan ini, melihatnya sebagai benteng moral di era digital yang penuh godaan.
Dampak Sosial: Ancaman Kecanduan dan Ketidakadilan Ekonomi
Bayangkan dampaknya: satu casino bisa lahirkan ribuan pecandu, tapi di Indonesia, judi ilegal saja sudah sebabkan 4 juta orang terjerat, dengan kerugian ekonomi Rp 300 triliun per tahun. Larangan casino bertujuan cegah eskalasi ini, karena pengalaman global seperti di Filipina tunjukkan judi fisik perburuk kemiskinan—pemain miskin kalah besar, sementara elite untung dari pajak. Di sini, dengan kesenjangan Gini 0,38, casino berisiko jadi “pajak atas orang miskin”, di mana buruh harian habiskan gaji untuk slot machine, tinggalkan keluarga dalam kemiskinan struktural.
Lebih jauh, judi picu masalah sosial seperti perceraian naik 20% di daerah rawan, kekerasan domestik, dan bunuh diri terkait hutang. Pemerintah Prabowo, sejak Januari 2025, blokir 1,3 juta situs judi online dan suspend 28.000 akun bank terkait, bukti keseriusan hadapi ancaman ini. Kampanye ini tak hanya hukum, tapi edukasi: sekolah dan masjid kini integrasikan program anti-judi, ajar anak muda bahwa kemenangan sejati dari kerja keras, bukan roda keberuntungan. Di sisi lain, legalisasi di Singapura beri revenue miliaran, tapi biaya sosialnya—seperti peningkatan kejahatan 15%—jadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Larangan ini lindungi generasi muda dari siklus ketergantungan, pastikan pertumbuhan inklusif tanpa korban tak berdosa.
Regulasi Hukum: Penjagaan Ketat di Era Digital
Secara hukum, Indonesia punya fondasi kokoh: Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian nyatakan semua bentuk judi ilegal, dengan ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda Rp 25 miliar. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 303 perkuat ini, samakan casino dengan sarang kejahatan. Di 2025, regulasi baru fokus online: Kementerian Kominfo blokir akses dari Kamboja dan Filipina, negara tetangga yang jadi sumber judi lintas batas, sementara OJK instruksikan bank blokir ribuan akun terkait.
Meski ada wacana legalisasi untuk tambah pendapatan negara—seperti usul di IKN untuk tarik turis—oposisi dari DPR dan ulama kuat, anggap itu langgar Pancasila sila pertama. Juni lalu, diskusi di parlemen tolak ide ini karena risiko korupsi dan pencucian uang, yang sudah merajalela di judi ilegal. Pemerintah pilih jalur alternatif: kembangkan pariwisata halal, seperti eco-resort di Lombok, yang beri revenue tanpa noda moral. Dengan Sharia-based law yang dominan, regulasi ini tak hanya teori, tapi aksi nyata—dari razia rutin hingga AI deteksi transaksi mencurigakan. Hasilnya, tingkat partisipasi judi turun 10% sejak awal tahun, bukti bahwa penjagaan ketat ini efektif jaga kedaulatan digital.
Kesimpulan: Mengapa Indonesia Tidak Memperbolehkan Pembukaan Casino
Larangan casino di Indonesia adalah perpaduan bijak antara iman, empati sosial, dan aturan tegas—bukan penghalang kemajuan, tapi pelindung masa depan. Di 2025, saat crackdown Prabowo berlanjut dengan blokir massal dan penolakan Bali, negeri ini tunjukkan bahwa kekayaan sejati dari nilai luhur, bukan chip poker. Meski godaan revenue menggoda, prioritas lindungi rakyat dari jerat judi tetap utama. Bagi Indonesia, tutup pintu casino berarti buka jendela harapan: pariwisata berkelanjutan, ekonomi inklusif, dan masyarakat yang kuat. Saat dunia bergulat dengan dilema serupa, Nusantara jadi contoh—bahwa menolak tak selalu kalah, tapi seringkali menang besar.